Kita Kehilangan Kaum Muda
Kita Kehilangan Kaum Muda
..kalau pemuda sudah berumur 21, 22 sama sekali tak berjuang, tak bercita-cita, tak bergiat untuk tanah air dan bangsa…pemuda yang begini baiknya digunduli saja kepalanya…(Soekarno)
..pemoeda kita itoe oemoemnja hanja mempoenjai ketjakapan oentoek mendjadi serdadoe, jaitu berbaris menerima perintah menjerang, menjerboe dan berjibakoe dan tidak pernah diadjar memimpin (Sjahrir)
Muda atau tua tidak bergantung pada tanggal dalam suatu masa, tapi keadaan jiwa. Tugas kita bukan menambah usia pada kehidupan, tapi menambah kehidupan pada usia…(Myron J Taylor)
PADA 16 Agustus 1945 malam, Soekarno bersama Hatta dibawa oleh kaum muda ke sebuah tempat bernama Rengasdeongklok. Chaerul Saleh, Wikana, Jusuf Kunto, Sukarni diantaranya. Mereka merasa penting untuk mendesak Soekarno agar segera memproklamirkan kemerdekaan. Biar kedaulatan itu mekar tidak oleh pemberian Jepang. Kala itu mereka tahu Jepang kalah perang melawan sekutu. Mereka meyakini waktunya kini untuk proklamirkan kemerdekaan. Jika ditunda keadaan akan berubah dan jika tidak segera kondisinya tak menguntungkan. Mereka melakukan inisiatif berani.
Di sana, kita tahu, mereka saling berdebat. Panas, penuh emosi dan saling mengkritik. Kaum muda merasa orang-orang tua ini konyol, kolot dan lamban. Soekarno juga menilai anak muda terlalu terburu-buru, tanpa perhitungan dan tidak matang. Kita kemudian tahu esoknya teks proklamasi itu dibacakan. Kaum muda lah yang kelak membuat Proklamasi itu dinyalakan dimana-mana. Kaum muda pula yang menekan keputusan untuk segera proklamirkan kemerdekaan.
Mereka memang dididik oleh Soekarno dan Hatta. Tapi saat itu mereka juga punya banyak pikiran berbeda. Salah satu ciri utama mereka adalah ‘konfrontasi’ dengan alam pikir orang tua. Mendebat bahkan mengkritik dengan terbuka jadi ciri yang mendominasi anak muda kala itu. Benar Soekarno dan Hatta telah berjuang bahkan dibuang tapi itu tidak menjamin pandanganya kemudian diterima begitu saja. Mereka keberatan dan bahkan mereka secara serius mengkritik cara pandang Soekarno maupun Hatta. Debat itu yang terus mewarnai wajah para pendiri Republik yang kebanyakan saat itu masih muda-muda. Perumusan apa saja melalui debat yang panas dan saling beradu argumentasi: dasar negara hingga susunan pemerintahan. Debat membuat rakyat sadar betapa ide sosial apa saja perlu untuk diadu: dicari dasar filosofinya hingga bagaimana mempraktikkanya kelak.
Meski baru merdeka tapi anak-anak mudanya hidup di alam harapan. Mereka saling mengenalkan keyakinanya sembari mengutuk apa yang dianggap kolot. Berulang-ulang Soekarno maupun Hatta berhadapan dengan gejolak kaum muda yang sulit reda. Kelak melalui situasi itulah lahir apa yang kini dirindukan: Dasar Negara jadi payung untuk semua. Pancasila lahir di tengah silang sengketa pendapat dan pandangan. Ciri yang belakangan hilang dan tak ada gemanya. Kini suasana itu benar-benar tenggelam: para politisi muda sibuk mengekor pendapat ketua partainya, yang secara usia sudah tua dan pandanganya telah udzur. Seolah pandangan orang tua itu sabda sehingga tak ada yang berani menggugat bahkan menyatakan berbeda saja susah. Kini banyak politisi muda yang keyakinannya selapuk orang tua: korupsi, menentang perubahan radikal hingga malas untuk mendukung lembaga progresif. Semacam KPK yang malah dipukuli oleh politisi muda yang tergabung dalam Pansus.
Ini bukan hanya dalam dunia politik, tapi juga pendidikan. Hampir minim sekali konfrontasi pandangan di kampus antara dosen dengan mahasiswa. Kelas-kelas banyak dihuni oleh anak-anak muda yang tak suka mendebat. Mereka percaya saja dengan kata-kata dosen yang berusia lebih tua. Apalagi jika yang tua mengatakan kalau dirinya sudah ‘berpengalaman’. Bahkan pada dunia organisasi apa yang dikatakan senior sudah harus dipatuhi secara membabi buta. Seakan anak-anak muda ini telah dianggap boneka yang harus mengikuti apa kata mereka. Sudah begitu jika ada anak-anak muda yang mendebat orang tua dikatakan sebagai ‘durhaka’. Definisi anak muda jadi aneh dan menggelikan: anak-anak yang mematuhi apa kata orang tua, mematuhi semua pandanganya dan tidak membantah apa dikatakan oleh mereka yang lebih tua. Itu sebabnya partai politik berjalan mirip dengan rumah keluarga: bapaknya jadi ketua partai atau ibunya dan kemudian pengurusnya adalah anak, keponakan dan beberapa anak muda jadi budaknya. Kampus serupa dengan barak serdadu: mahasiswa diminta mematuhi apa kata pejabat kampusnya yang kini posisinya mirip dengan komandan.
Konfrontasi itu menciptakan titik penegas yang beda antara orang tua dan anak muda. Membayangkan parlemen hari ini kita seperti kehilangan anak-anak mudanya. Di sana tak muncul perdebatan yang bermutu dan kesibukan yang ada malah banyak yang buat rakyat malu. Kita tak habis pikir dimana anak-anak muda yang sesungguhnya secara usia memadati gedung parlemen. Jujur apa mandat perubahan yang mereka bawa: sehingga banyak dari mereka yang dulu ‘muda berani’ jadi ‘muda pengikut’. Bukan hanya itu muda-muda jadi pencuri. Itu sebabnya saya kerap ditanya pada banyak mimbar, kenapa anak-anak muda yang dulu idealis kini jadi oppurtunis? Bahkan banyak di antara mereka jadi perpanjangan tangan kepentingan kaum pemodal. Menurut saya karena mereka tak lagi punya gagasan muda. Gagasan yang dulu dipelihara oleh pemuda-pemuda revolusioner yang ingin meneguhkan kedaulatan dengan cara meneguhkan posisi garis batas dengan para orang tua. Kita makin langka punya anak-anak muda yang berani meletakkan titik batas pembeda dirinya dengan orang tua.
Mungkin itu sebabnya kebanyakan di antara anak muda pada masa lalu adalah ‘kiri’. Sebut saja organisasi radikal kala itu: Pesindo. Berdiri pada tahun 1947 dengan menghimpun anggota kurang lebih 300.000 orang. Tujuan organisasi ini radikal: menegakkan sosialisme. Saat melakukan aksi massa mereka punya kode yang berbau ‘muda’: salam menggunakan tangan kiri dengan lima jari terkepal. Itu lambang dukungan Pesindo terhadap ‘Lima P’: Persatuan antara pemuda, penduduk, prajurit, pamong praja dan polisi. Sekaligus anti ‘lima P’: penindasan, pemerasan, penjajahan, perusuhan, pengacauan. Tak hanya itu mereka punya surat kabar dan majalah. Salah satu majalah resminya bernama Revolusioner, yang terbit sebulan sekali. Pesindo juga melengkapi dengan Badan Pembelaan yang menjalankan perlawanan secara militer: kelak mereka terlibat dalam pertempuran Surabaya dan Peristiwa Bandung Lautan Api[1]. Mana ada organisasi pemuda hari ini yang memiliki kemampuan, kecakapan dan struktur organisasi semacam ini?
Organisasi pemuda kita kian lama jadi mirip kepengurusan orang tua. Tiap Konggres dibuka oleh orang tua, kemudian mengucapkan salam tanpa makna dan lebih memalukan lagi berebut posisi jadi ketua. Tak ada, bahkan mungkin mustahil, organisasi pemuda kita punya web atau majalah yang punya pikiran radikal. Mereka jarang punya pasukan yang memiliki kecakapan fisik dan kemampuan untuk melakukan pembelaan. Sehingga tiap ada pembubaran diskusi kita jarang mendengar adanya pertarungan. Organisasi pemuda kita diisi oleh para pemikir, pembicara dan pengamat. Mereka bukan petarung sebagaimana yang dulu dimiliki oleh Pesindo. Yang menakjubkan lagi Organisasi Pesindo punya Sekolah Menengah di Magelang yang dinamai: Sekolah Menengah Proletar. Pada organisasi pemuda kita, jangankan punya sekolah SMP, bahkan kegiatan les saja kita tak memiliki. Komitmen sosial organisasi pemuda kala itu hidup karena percikan ide-ide kiri. Itu yang membuat mereka gampang turba (turun ke bawah) dengan menyelenggarakan pendidikan kerakyatan. Sebut saja Amir Hamzah, penyair dengan kekasihnya membuat program baca pada kalangan penduduk. Pencetus Poejangga Baroe ini dengan antusias menjadi panitia konggres besar Indonesia Muda dengan mendorong pemakaian bahasa Melayu[2]. Nekat, merakyat dan punya banyak inisiatif militan.
Maka organisasi Pemuda pada masa itu memiliki jaringan kuat dengan massa rakyat. Banyak kelompok kesenian yang dimiliki punya mandat pengorganisasian: di Pesindo ada ‘ludruk pesindo’. Sama dengan organisasi Filantropi yang kini ada, Pesindo membangun pusat-pusat layanan kemanusiaan untuk kaum miskin. Singkatnya anak muda tidak menghamba pada yang mapan tapi membela yang tersingkirkan. Idealisme kiri membentuk sikap keberpihakan yang lugas dan terang-terangan. Kini situasinya berbalik. Membela yang tertindas kadang jadi tangga untuk menuju kemapanan. Itu sebabnya inisiatif gerakan kaum muda dalam membangun kesadaran politik kurang progresif: tak banyak gerakan kaum muda yang punya kelompok seniman. Lebih banyak seniman membuat pentas kepedulian didukung oleh organisasi kaum muda. Kepedulian muncul dalam waktu insendental dan lebih berunsur hiburan. Ringan, enteng dan tak menusuk sasaran.
Diam-diam sejak Orde Baru anak muda telah dibekuk seperti teks pelajaran bahasa Indonesia. ‘Ini Budi’ merupakan cara Soeharto mendefinisikan anak muda. Sosok ‘Budi’ yang tak punya emosi, patuh dengan orang tuanya dan tak ada imaginasi. Potongan rambut hingga busana ‘Budi’ tak ada yang beda. Maka ‘Budi’ jadi cara pendidikan untuk membentuk anak muda. Diatur, dikendalikan dan diberi janji kemapanan. Jika ada yang berontak maka anak muda ini dianggap sebagai unsur yang kontra. Dibiarkan selama tidak membuat gerakan. Kalau bikin onar mereka sebut itu sebagai kriminil. Maka opini tentang kaum muda selalu penuh dengan kata waspada: waspada narkoba, waspada pergaulan bebas, waspada komunis, waspada hoax. Semua fokus kewaspadaan itu tertuju pada anak-anak muda. Sejak Orba hingga Reformasi, anak muda yang tidak punya prestasi selalu dicurigai dan disangka terjerumus pada bahaya. Itu sebabnya organisasi kepemudaan kita tak berkembang: langka melahirkan aktivis apalagi pemikir revolusioner semacam Wikana, Aidit atau Adam Malik. Secara diam-diam kita kehilangan warisan pikiran tentang tokoh-tokoh muda pada masa Revolusi.
Warisan sejarah yang diajarkan mirip dengan panduan untuk hormati prajurit. Isi pahlawan para serdadu dengan pemegang senjata. Hampir tak satupun tokoh kiri muncul dalam ingatan kaum pelajar kita. Seolah Soekarno, Hatta, Sjahrir hingga Moh Natsir jadi himpunan pejuang satu-satunya yang membawa Republik menuju alam merdeka. Tak ada debat yang pernah terlukis di masa lalu dihidupkan dalam pelajaran sejarah. Ide Pancasila sekalipun dilepaskan dari buah pikiran kaum muda. Seakan ideologi itu ditanam oleh orang-orang bijak yang sudah dipendam sejak lama. Padahal tanpa anak-anak muda yang berdebat keras dengan Soekarno maupun Hatta sulit percaya proklamasi akan dibaca pada hari itu.
Maka begitu mudah anak-anak muda dimanfaatkan oleh organ-organ represif. Jadi pasukan ngawur yang menjadi pembubar diskusi, menekan mereka yang dianggap kiri hingga mengutuk apa saja yang dianggap mereka melanggar norma. Identitas mereka tak ditentukan oleh tindakan dan pikiran yang otentik melainkan mengikuti saja apa kata kelompoknya. Itu sebabnya pada masa Soeharto ketrampilan yang paling bisa dipamerkan pada Upacara 17 Agustus adalah baris-berbaris. Gerak rapi, seragam dan tertib itulah yang dicangkokkan pada banyak anak muda. Hingga mereka tak banyak punya kesangsian, rasa skeptis dan keinginan petualangan. Mereka ditanam kepercayaan buta. Ben Anderson bahkan menyindir: kepercayaan yang dimiliki para Mahasiswa terhadap Google nyaris religius sifatnya. Sifat ‘kepercayaan yang religius’ itulah yang membuat mereka tumbuh lama kelamaan mirip orang tua: mudah kompromi, gampang dipuaskan oleh kondisi dan irasional dalam menelaah persoalan[3]. Tentu ini tuduhan yang tak sepenuhnya benar tapi terus terang kita merasa bahwa hari ini anak-anak muda sedang terlelap.
Tanpa kaum muda dalam arti sesungguhnya, kita akan jadi bangsa yang tanpa punya ide sosial militan sekaligus terjebak dalam ketergantungan. Tergantung dengan ide-ide kaum tua, tergantung pada harapan yang digantungkan oleh orang tua, dan lebih bahaya lagi tergantung langkahnya pada kesempatan yang diberikan oleh orang tua. Sungguh bangsa yang kerdil dan sebenarnya ‘tidak’ merdeka. Rasa tidak merdeka itu karena kita kehilangan anak muda yang punya kekerasan dalam sikap, keteguhan pada cita-cita perubahan dan enggan untuk tunduk pada mereka yang berkuasa. Jika memakai kiasan bung Karno dikatakan:
Yang dibutuhkan oleh tanah air kita kini ialah otot otot yang kerasnya sebagai baja, urat-urat saraf yang kuatnya sebagai besi, kemauan yang kerasnya sebagai batu hitam yang tiada barang sesuatu bisa menahanya, dan yang jika perlu, berani terjun ke dasar samudera! [4]
Itu artinya kita rindu hadirnya anak muda yang sebenarnya!
———
[1] Lih Norman Joshua Soelias, Pesindo: Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1950, Margin Kiri, 2016
[2] Lih Edisi Khusus Tempo: Paradoks Amir Hamzah, 14-20 Agustus 2017
[3] Lih Benedict Anderson, Hidup di Luar Tempurung, Margin Kiri, 2016
[4] Lih Eko Prasetyo, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin!, Resist Book, 2008
Komentar
Posting Komentar