Benarkah Pendidikan Harus Gratis, Untuk Saat Ini?



Benarkah Pendidikan Harus Gratis, Untuk Saat ini?

“Pendidikan Tinggi gratis akan memberi kesempatan orang miskin untuk sekolah dan mendapatkan kehidupan layak”. Terus yang tidak sekolah bagaimana? Apakah dibiarkan miskin? Apa 90 juta orang miskin dan rentan perlu disekolahkan juga agar tidak miskin lagi? Menjamin penghidupan layak harusnya dengan welfare transfer dan lapangan kerja formal layak, bukan sekolah — IMO.

Persoalan pendidikan harus bisa dilihat dari kacamata yang holistik, tidak melihat isu pendidikan sebagai isu sektor pendidikan semata — padahal itu berkaitan dengan masalah struktural dan kebijakan lain, seperti masalah ekonomi, pasar tenaga kerja, kemiskinan, ketimpangan sosial, dll. Ketimpangan dan kerentanan ekonomi itu mempengaruhi akses pendidikan. Dan solusinya harusnya mengurangi ketimpangan dan kerentanan ekonomi bukan malah memberi akses penghidupan hanya ke segelintir orang.

Contoh kasus yang awam: Banyak kelompok — aktivis progresif bahkan — yang meromantisir kenapa anak petani dikatain semakin sedikit yang kuliah di kampus. “Apa kamu berharap supaya anak petani tidak lagi menjadi petani dengan adanya mobilitas sosial vertikal lewat pendidikan?” Argumen di atas disandarkan pada riset yang dilakukan oleh Litbang Kementrian Pertanian dan Akatiga. Orang tua yang petani juga tidak berharap anaknya jadi petani karena profesi itu dinilai kurang sejahtera.

Bukan dalam rangka untuk membatasi hak orang mengakses pendidikan, tapi ketika kemudian pendidikan tinggi praktiknya dipandang sebagai sarana untuk dapat pekerjaan yang lebih layak itu akan jadi masalah di tengah pasar tenaga kerja yang lemah dan pengangguran lulusan kampus yang membludak. Karena orang ke kampus untuk dapat penghidupan yang lebih baik. Pertanyaan kemudian, “Kalau orang bisa sejahtera dengan pendidikan dasar kenapa harus susah-susah masuk PTN?”

Apakah Mungkin Pendidikan Tetap Dalam Koridor Mencerdasakan Kehidupan Bangsa?

Orientasi dan watak pendidikan tinggi itu ditentukan oleh kondisi struktural dan kebijakan di luar kampus. Kalau ingin watak pendidikan tinggi itu akademis/ilmiah, emansipatif/bervisi kerakyatan, demokratis, serta gratis, harus diurus dulu masalah yang di luar. Kalau tidak — mau disuruh baca berulang-ulang Paulo Freire (sampe jackpot) sekalipun — pendidikan tinggi dan pelajar S1 akan tetap selalu berorientasi kerja — akibat persoalan struktural yang menghegemoni telah berurat dan berakar. Bahkan fakta kalau banyak gaji pokok dosen lebih kecil daripada gaji buruh pabrik atau buruh fresh-graduate entry-level. Akan sulit berharap dosen-dosen bisa melakukan riset-riset, apalagi mengembangkan ilmu pengetahuan. Mereka pasti sibuk dengan proyek-proyek, kerja administratif, ‘acara-acara kampus,’ kuliah ekstra agar bisa survive — tapi ini akan dibahas di lebih jauh di tulisan lain.

Karena pembangunan ekonomi mandek, de-industrialisasi prematur, masuk middle-income technology trap, surplus pekerja meningkat, kompetisi pasar tenaga kerja jadi lebih intens. Makanya orang kuliah supaya dapat advantage di labour market. “Labour market slack -> many unemployed/underemployed -> employers raise competency level when hiring -> people get college degree to improve labour market position. Solution: full employment & active labour market policy, more jobs targeted to workers with secondary education.”

Kalo lapangan kerja sedikit, surplus pekerja melimpah, apakah kemudian “link-and-match” yang diprogramkan pemerintah adalah solusi? Ku jawab dengan tegas: BUKAN!. Itu hanya akal-akalan supaya nanti pengusaha bisa “opportunistic hiring”: mensortir tenaga kerja yang paling pintar/ qualified dengan harga relatif lebih murah. Yang lain jadi surplus pekerja, rebutan lapangan kerja, pekerja rentan, pengangguran. Studi kasus di U.S menunjukkan ketika jumlah pengangguran (i.e. surplus pekerja) lebih banyak, pengusaha meninggikan syarat kompetensi rekrutmen. Juga sebaliknya. Pengusaha melakukan “opportunistic hiring”. 

Labour market pendidikan. Alice Amsden soal “job dementia” bilang memperbaiki “human capital” kalo tidak ada penambahan lapangan kerja hanya menambah pengangguran berkualifikasi saja.

Solusinya ya bagaimana memperbaiki kondisi ekonomi masyatakat dan menciptakan lapangan kerja layak (full employment) baik bagi lulusan pendidikan tinggi atau dasar. Dengan cara apa? Dorong land reform, industrial policy, nordic welfare state supaya kehidupan rakyatnya terjamin dulu. Gunakan land reform, industrial policy, dan regional policy untuk mengurangi ketimpangan ekonomi antar-daerah dan dalam-daerah. Perbaiki dan meratakan kualitas pendidikan dasar. Jadi akses pendidikan dasar itu merata bagi semua, tidak ada yang ter-pinggirkan/disadvantaged.

Kalau kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan sudah beres, kemiskinan dan ketimpangan sosial, baik antar-daerah atau dalam-daerah, sudah dapat dikurangi. Akses dan kualitas pendidikan dasar sudah merata. Tidak masalah Pendidikan Tinggi jadi gratis dan dapat berorientasi akademik karena tidak ada paksaan dari luar. Kalo mau memprioritaskan pendidikan tinggi gratis — sekarang — Itu sama saja mau memperparah masalah-maslah kemiskinan dan ketimpangan yang sudah ada. Karena kampus itu hanya merefleksikan kondisi sosial-ekonomi yang sudah ada. Solusinya: Ubah kondisinya bukan malah sekonyong-konyong menggratiskan pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi gratis itu butuh anggaran publik. Artinya butuh meningkatkan pajak, terutama pajak ke orang kaya. Nah kalo misalnya berhasil meningkatkan pajak, masa memprioritaskan untuk pendidikan tinggi gratis dan bukan untuk jaminan sosial, ekonomi, layanan publik, dsb.? Memang harus ada asumsi yang dirubah: dari untuk mendapatkan kesejahteraan masyarakat harus dengan mengakases pendidikan formal, menjadi menciptakan masyarakat di mana orang dapat sejahtera tanpa harus mengakses pendidikan formal. Karena dengan tanpa bayang-bayang struktaral kemiskinan itu, mereka yang nantinya menempuh pendidikan itu, barulah dapat mengaktualisasikan pengetahuan demi kepentingan khalayak. Sehingga perdebatan non-produktif tentang “idealisme ketika masih mahasisiwa dan menjadi pragmatis ketika sudah bekerja bisa kita akhiri — dengan melampauinya.”

Pendidikan dasar SD-SMA sudah gratis — tentu dengan segala kritik dan keterbatsannya. Tapi nyatanya ada anak pelajar miskin masih harus bantu ekonomi orang tua, kadang sampai putus sekolah atau karena pernikahan dini. Ini contoh adalah real masalah kemiskinan dan ketimpangan pengaruhi pendidikan. Apa kita ingin mereplikasi ini di kampus? Maka jangan heran ketika akses pendidikan gratis yang dirasakan orang-orang di kampus bisa berebut untuk membuat CV bagus, paska lulus mendapatkan posisinya lebih baik di pasar tenaga kerja dan dapat wage premium. Dan bisa koar-koar ke orang miskin: “privilege bukan hambatan, kerja keras adalah kunci kesuksesan, dan kalau kamu miskin maka harus work ten times harder!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hukum dan Kekerasan Seksual: Apa yang Diperjuangkan

Mahasiswa

Apa Kabar Mahasiswa Saat Ini?

Fiksasi Kepercayaan

Teori Kemunculan Islam dan Kristen

Pendidikan, Pembangunan, Dan Kesadaran Kritis

Problem IBE dalam Praktik Hukum

Mengenal jenis-jenis perundungan (bullying)