Problem IBE dalam Praktik Hukum
Apabila dijumpai seorang hakim menarik kesimpulan berdasarkan pola logika abduksi, maka vonis yang dihasilkan tidak bersifat pasti dan hakim tersebut mengingkari kepastian yang semestinya dihadirkan dalam vonis.
“In criminalibus probantiones bedent esse luce clariores”, “dalam perkara pidana, bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya”. Demikian adagium latin yang diucapkan Eddy Hiarej, guru besar ilmu hukum Universitas Gadjah Mada ketika dirinya diminta menjadi saksi ahli dalam persidangan sengketa hasil pemilihan presiden 2019. Adagium tersebut menjadi dasar dari seluruh upaya pembuktian kebersalahan seseorang dalam sebuah perkara pidana. Adagium tersebut menyiratkan bahwa diperlukan sebuah bukti yang sungguh-sungguh tak terbantahkan guna menjatuhi seorang terduga pelaku dengan hukuman yang termaktub dalam sebuah produk hukum. Dalam kesempatan yang sama, Eddy Hiarej bahkan menambahkan, bahwa lebih baik bagi hakim untuk membebaskan seseorang yang bersalah daripada menghukum seseorang yang tidak bersalah. Hal tersebut semakin menunjukkan bahwa bukti tak tergoyahkan merupakan hal yang krusial dalam sebuah perkara pidana.
Beberapa waktu belakangan, Indonesia diramaikan dengan sebuah film dokumenter berjudul “Ice Cold” garapan Netflix yang mengulas kembali perjalanan kasus “Kopi Sianida” yang sonter di Indonesia pada 2016 silam. Dokumenter tersebut membuka beberapa “bukti” baru yang luput dari perbincangan pengadilan maupun diabaikan oleh hakim dalam perumusan putusan. Keseluruhan upaya dokumenter tersebut setidaknya dapat dirangkum dalam satu kalimat: tidak ada bukti yang kuat untuk menyebut bahwa Jessica Kumala Wongso merupakan pembunuh Wayan Mirna Solihin.
Dalam putusan yang dibacakan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2016, Jessica dianggap secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana kepada sahabatnya, Mirna. Pertimbangan hakim, di antaranya adalah, Jessica melakukan beberapa gestur “tidak wajar”, seperti membayar pesanan terlebih dahulu, memesan minuman beberapa jam sebelum pertemuan dengan korban dilakukan, meletakkan paper bag di atas meja untuk “menutupi” gelas minuman, dll. Dari beberapa kejanggalan yang diungkapkan hakim, salah satu peristiwa kunci yang menjadi pertimbangan pokok hakim untuk memvonis Jessica bersalah adalah tindakan Jessica meletakkan paper bag di atas meja sehingga menghalangi pandangan CCTV. Tindakan tersebut dipandang hakim sebagai awal dari bagian tindakanJessica saat memasukkan sianida ke dalam es kopi Vietnam yang di kemudian waktu akan diminum oleh Mirna. Kendati tidak ada bukti pasti yang menunjukkan bahwa Jessica meletakkan sianida ke dalam minuman Mirna, tetapi hakim yakin bahwa kematian Mirna disebabkan oleh sianida yang dituangkan Jessica ke dalam minumannya saat peristiwa tersebut terjadi.
Dalam ilmu hukum, pertimbangan yang digunakan hakim tersebut diperoleh melalui penyimpulan berdasarkan circumstantial evidence. Wulandari (2018) menjelaskan bahwa circumstantial evidence adalah bukti yang dihadirkan dalam persidangan yang tidak berasal dari pengamatan langsung saksi mata ataupun partisipan dalam sebuah perkara pidana. Bukti tersebut dapat berupa bukti fisik (mis. hasil Visum et Repertum atau autopsi), atau kejadian-kejadian yang dapat menghasilkan penjelasan yang masuk akal terkait terjadinya sebuah peristiwa pidana. Hal tersebut berbeda dengan direct evidence yang mensyaratkan adanya kesaksian langsung yang menyebutkan bahwa terduga pelaku sungguh-sungguh melakukan tindak pidana yang dituduhkan kepadanya.
Dalam prosesnya, Wulandari (2018) menjelaskan bahwa penggunaan circumstantial evidence rawan jatuh pada penyelewengan kekuasaan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya parameter yang jelas mengenai jumlah bukti yang dapat menjadi dasar penyimpulan putusan. Selain itu, sistem hukum Indonesia yang menganut asas Negative Wettelijk Bewijstheorie—yang menyebut bahwa putusan diperoleh berdasarkan minimal dua alat bukti ditambah keyakinan hakim—semakin memperbesar peluang terjadinya penyelewengan kekuasaan. Signifikansi alat bukti—dan putusan itu sendiri nantinya—pada akhirnya tetap berlandaskan pada kebijaksanaan majelis hakim yang menangani perkara.
Berbicara secara filosofis, kebenaran yang dihasilkan dari penarikan kesimpulan berbasis circumstantial evidence bersifat spekulatif. Kebenaran yang diperoleh tersebut bersifat spekulatif lantaran tidak secara an sich diperoleh melalui pengamatan positif yang bersumber dari realitas yang teramati secara an sich, melainkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang—dalam kadar tertentu dapat disebut—logis. Alhasil, kendati kebenaran yang diperoleh berdasarkan circumstantial evidence dapat disebut logis (sesuai dengan hukum-hukum penalaran), tetapi kebenaran tersebut belum tentu sesuai dengan realitas. Kebenaran tersebut dapat dikatakan “valid”, tetapi belum tentu “benar” sehingga kebenaran yang diperoleh berdasarkan circumstantial evidence tidak dapat sepenuhnya dikatakan sound, atau dengan kata lain, tidak adekuat. Secara spesifik, penalaran semacam ini dikategorikan sebagai penalaran abduksi. Penalaran abduksi berusaha untuk mencari alasan terbaik untuk menjelaskan terjadinya sebuah fenomena, atau hasil yang berupaya diperoleh yang dikenal dengan sebutan inference to the best explanation.
Tentang IBE: Definisi dan Penggunaannya
Inference to the best explanation (selanjutnya IBE) merupakan hasil yang diperoleh dari penalaran abduktif. Untuk memahami abduksi, kita perlu melihat terlebih dahulu dua tipe penyimpulan atau inferensi lain, yaitu deduksi dan induksi. Penalaran abduktif dan induktif berbeda dengan penalaran deduktif. Distingsi yang perlu diperhatikan di sini adalah mengenai garansi kebenaran inferensinya (Douven, 2021). Inferensi dalam penalaran deduktif niscaya benar selama premis dalam argumen tersebut juga benar. Misalnya:
(1) Semua angsa berwarna putih.
(2) Saya menemukan sebuah angsa.
(3) Maka, angsa yang saya temukan berwarna putih.
Kebenaran inferensi (3) tidak mungkin untuk salah ketika nilai premis (1) dan (2) adalah benar. Bila memang di dalam realitas semua angsa berwarna putih, dan bila memang di dalam realitas saya menemukan sebuah angsa, maka kesimpulan angsa yang saya temukan berwarna putih tergaransikan. Hal ini hanya dapat dimungkinkan ketika kesimpulan tidak keluar dari premis. Kita juga dapat melihat bahwa kebenaran dalam penalaran deduktif melampaui ruang dan waktu.
Penalaran abduktif dan induktif memiliki kesamaan bahwa inferensinya melampaui premis-premisnya. Hal itu juga yang menyebabkan premis benar tidak menggaransi kebenaran inferensi. Perhatikan penalaran induktif berikut:
(4) Kebanyakan angsa berwarna putih.
(5) Saya melihat sebuah angsa.
(6) Kemungkinan besar angsa yang saya lihat berwarna putih.
Kebenaran inferensi (6) adalah bahwa angsa yang saya lihat berwarna putih. Namun, hal tersebut tidak pasti benar. Kemungkinannya besar, tetapi bukan berarti tidak ada celahnya. Ruang kesalahan tersebut dapat ditelisik dari premis (4) sekalipun. Misalnya memang di dalam realitasnya kebanyakan angsa berwarna putih—sebut saja terdapat penelitian di 99% wilayah dan dalam rentang waktu dua juta tahun—tetapi hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa terdapat angsa yang tidak berwarna putih, misalnya angsa yang berwarna hitam ditemukan di 1% wilayah atau ditemukan esok hari. Penalaran induktif biasanya bersifat probabilistik dan statistis sehingga masih terdapat celah ketidakpastian garansi kebenaran. Induksi terbatas pada kemampuan kita dalam mencerap realitas, entah itu berasal dari kerapuhan kita sebagai manusia atau memang masih belum—dan mungkin tidak akan ada—ada perangkat epistemik yang memadai untuk menjamin kesimpulan.
Abduksi adalah penarikan kesimpulan terbaik dalam suatu peristiwa daripada berfokus pada eviden yang ada dalam premis. Peter Lipton (1991) menyampaikan bahwa IBE merupakan praktik penyimpulan yang didasarkan pada pertimbangan eksplanatoris. Pertimbangan eksplanatoris tersebutlah yang menuntun pada inferensi (Lipton, 1991). Andaikan contoh berikut. John pulang ke rumah, tetapi, tidak seperti biasanya, di depan rumahnya tertancap tiang dengan bendera berwarna kuning. Dengan jantung berdebar-debar dan sedikit gugup, John berkesimpulan bahwa ada dari keluarganya yang meninggal. Cerita ini adalah salah satu contoh sempurna dari penggunaan abduksi. Namun, sama seperti penalaran induktif, penalaran abduktif tidak dapat menjamin suatu kepastian apa pun. Sudah menjadi hal yang sangat jelas dan tak menambah hal baru bila IBE secara deduktif invalid dan tak menggaransikan konklusi (Matheson, 1998). Dalam kasus John misalnya, mungkin kesimpulan bahwa terdapat keluarganya yang meninggal itu benar. Akan tetapi, alih-alih keluarganya meninggal, setibanya John di rumah, dia justru menjumpai rumahnya sedang digunakan sebagai tempat pertemuan Partai Golkar.
IBE dalam Praktik
Apabila kita mengetahui bahwa IBE memperlihatkan kecacatan garansi inferensi—bahwa kebenaran premis tidak meniscayakan kebenaran inferensi—lantas apa yang menjadi masalah? Mudahnya, IBE tidak bisa bekerja dalam semua paradigma. IBE hanya mungkin bekerja di dalam paradigma yang mengizinkan dimasukkannya entitas tak teramati ke dalam upaya pengambilan inferensi. Entitas tak teramati—yang sudah pasti bersifat spekulatif—akan menghasilkan inferensi yang juga bersifat spekulatif. Oleh karena itu, filsafat sebagai salah satu contoh paradigma yang mengizinkan dimasukkannya entitas tak teramati ke dalam pertimbangannya, memungkinkan untuk bekerja dengan IBE. Ilmu tertentu, misalnya astronomi atau fisika juga mengizinkan lebih jauh penggunaan entitas tak teramati.
Bila ditarik lebih jauh, terdapat demarkasi yang jelas antara paradigma yang mengizinkan pengikutsertaan entitas tak teramati dan yang tidak. Paradigma yang mengizinkan dimasukkannya entitas tak teramati adalah paradigma yang inferensinya tidak secara langsung bersentuhan dengan keseharian manusia, atau lebih jauh, berdampak secara spesifik terhadap kehidupan manusia, dan begitu pula sebaliknya. Filsafat, astronomi, fisika, dan beberapa paradigma lainnya, mengizinkan untuk memasukkan entitas tak teramati sebab inferensi yang dihasilkannya tidak berimplikasi langsung terhadap kehidupan manusia. Dialektika Roh, eksistensi materi gelap, maupun dualitas partikel-gelombang, tidak secara langsung memengaruhi kehidupan manusia. Namun, diagnosis seorang dokter, misalnya, tidak bisa didasarkan pada asumsi-asumsi yang dibuat oleh dokter tersebut. Ketika seorang dokter memvonis seseorang mengidap kanker otak sehingga kemoterapi perlu dilakukan, dirinya pasti mendasari diagnosisnya pada hasil uji lab yang terpercaya. Ia tentu tidak akan mengambil keputusan demikian hanya karena, misalnya, sang pasien merasakan sakit di bagian kepala atau kesulitan mengambil keputusan. Mudahnya, ilmu-ilmu yang bersentuhan langsung dengan keseharian manusia memerlukan premis yang pasti (baca: positivistik) untuk dapat menghasilkan inferensi yang benar.
Lebih jauh, hal di atas terjadi lantaran IBE yang mengizinkan entitas tak teramati untuk dilibatkan dalam pertimbangan, bekerja dalam paradigma realisme (Chakravartty, 2007). IBE menjangkarkan inferensinya pada premis-premis yang perlu untuk ada, bukannya pasti ada sebagai eksplanans. Dalam paradigma realisme, kesuksesan sebuah teori (atau hipotesis) bukanlah semata-mata berkat keajaiban. Keberhasilan tersebut mensyaratkan hadirnya premis-premis yang eksis sebagai pendukung eksistensi inferensi yang dihasilkan (teori tersebut). Premis ini tidak perlu teramati, selama di dalamnya terdapat daya eksplanatori, simplisitas, dan unifikasi teori yang adekuat. Sejauh ketiga kriteria tersebut terpenuhi, maka premis yang dibuat sudah cukup menjadi alasan mengapa sebuah inferensi dihasilkan.
Mengapa IBE tidak bekerja dalam Praktik Hukum?
Terdapat satu jawaban pasti untuk menanggapi pertanyaan tersebut: IBE tidak dapat memberikan garansi kepastian inferensi. Dampaknya, sebuah kesimpulan yang ditarik berdasarkan prinsip abduksi belum tentu merupakan kesimpulan yang benar. Kembali pada bagian awal, inferensi yang ditarik berdasarkan metode abduksi dapat—dan pasti benar—bekerja sesuai dengan prinsip penalaran. Akan tetapi, realitas tidak bekerja berdasarkan hukum logika. Hukum logikalah yang belajar dari realitas. Sayangnya, manusia yang bertugas untuk memformulasi hukum logika dari perjumpaannya dengan realitas, adalah makhluk terbatas. Konsekuensinya, hukum logika tidak dapat menjawab keseluruhan dinamika realitas.
Ketika bersentuhan dengan hukum, IBE jelas bertentangan. Ketika sebuah inferensi ditarik berdasarkan prinsip abduksi, pernyataan yang kemudian paling tepat haruslah diawali dengan kata “mungkin” bukannya “pasti benar”, berbeda dengan prinsip deduksi. Prinsip deduksi mensyaratkan hadirnya konklusi yang pasti benar ketika premis yang disajikan juga benar (Hurley, 2014). Oleh karena itu, ketika sebuah premis tidak dapat dibuktikan kebenarannya—entah itu kurang informasi atau data, dan berimplikasi pada munculnya konklusi yang tidak benar maupun salah—konklusi yang dihasilkan menjadi tidak bermakna. Misalnya seorang hakim memvonis seorang (J) bersalah karena membunuh (M) dengan argumen deduktif:
(7) Orang yang terbukti membunuh orang lain harus diadili.
(8) Rekaman CCTV tidak pernah bohong.
(9) Rekaman CCTV menunjukkan J menuangkan racun sianida ke minuman M.
(10) M mati setelah meminum minuman yang dituangkan racun ke dalamnya oleh J.
(11) J membunuh M.
(12) J harus diadili.
Kesimpulan (10) dapat benar apabila seluruh premis (7) sampai (11) juga terbukti benar. Tidak ada masalah bila J disebut telah meracuni M sehingga J dijatuhi hukuman pidana. Namun, dalam kasus “Kopi Sianida”, proposisi (9) dan (10) tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Alhasil, bila berpegang teguh pada hukum logika deduksi, inferensi (11) dan (12) tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Oleh karenanya, proposisi (11) dan (12) menjadi tidak bermakna. Akan tetapi, dalam logika abduksi, hal tersebut bukan masalah sama sekali. Sebab, sekali lagi, logika abduksi tentu mengakomodir inferensi yang bersifat spekulatif.
Problemnya, keputusan seorang hakim tidak dapat berbunyi “mungkin terdakwa bersalah”. Hal ini berbeda dengan seorang filsuf saat mendeskripsikan eksistensi pegasus yang sah saja ketika ia berkata “mungkin pegasus eksis”. Keputusan seorang hakim hanya terletak pada dua kutub: terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tertentu atau tidak sama sekali. Oleh karena itu, apabila dijumpai seorang hakim menarik kesimpulan (baca: menjatuhkan vonis) berdasarkan pola logika abduksi, terdapat dua kepastian yang dapat disimpulkan. Pertama, vonis yang dihasilkan oleh hakim tersebut tidak bersifat pasti, melainkan spekulatif yang masih menyisakan celah bagi kemungkinan penjelasan lain. Kedua, hakim tersebut mengingkari kepastian yang semestinya dihadirkan dalam vonis. Hukum positif yang mencita-citakan terciptanya kepastian hukum bersamaan dengan hadirnya keadilan pada akhirnya tetap akan meninggalkan ketimpangan.
Kesimpulan
Pada akhirnya, tulisan ini tidak berupaya untuk menjawab siapa yang salah dan benar dalam kasus “Kopi Sianida”. Akan tetapi, tulisan ini menunjukkan kecacatan dan celah dalam penjatuhan vonis kepada Jessica yang dilakukan tujuh tahun silam. Dalam hemat kami, penarikan kesimpulan dan penjatuhan vonis yang hakim lakukan bukan hanya bersifat inkonsisten, tetapi juga tidak dapat dipertanggungjawabkan, baik secara rasional maupun empiris. Sekali lagi, circumstantial evidence yang bekerja dengan cara yang sama dengan IBE bekerja—dalam hemat kami—tidak dapat menjadi dasar bagi penjatuhan vonis yang ajeg terhadap seorang terduga pelaku pembunuhan. Hakim bukan filsuf yang dapat berbicara tentang yang-mungkin, tetapi hakim adalah sosok yang harus membumikan kepastian hukum di hadapan ketidakpastian realitas.
Berbicara lebih jauh, tulisan ini juga berupaya memantik kembali pertanyaan primordial dalam hukum: apakah hukum sama dengan keadilan? Tulisan ini juga berupaya mengajak para pembaca berpikir mengenai beberapa produk hukum yang selama ini diamini secara taken for granted tanpa berupaya menguji objektivitasnya. Sebagai contoh, penghinaan dan pencemaran nama baik yang tercantum dalam UU ITE yang masih menyisakan ruang bagi yang-tak teramati (mis. perasaan terhina seseorang ketika dirinya dibicarakan dalam ruang maya) perlu untuk dipertanyakan lebih jauh.
Sebagai penutup, menyitir Satjipto Rahardjo, hukum modern tidak dapat menjamin bahwa yang menang adalah yang benar dan yang kalah adalah yang salah. Namun, terlepas dari itu semua, sistem dan produk hukum yang berlaku di negara kita merupakan instrumen terbaik saat ini yang kita miliki untuk menjamin kehadiran keadilan di tengah masyarakat. Persoalan tentu hadir, tetapi sanggupkah kita untuk terus berdialektika guna membangun hukum yang lebih baik? Persoalan kebenaran dan keadilan hakiki, biarlah hanya Tuhan, Mirna, dan Jessica lah yang tahu.
Referensi
Chakravartty, A. (2007). A metaphysics for scientific realism: Knowing the unobservable. Cambridge: Cambridge University Press.
Douven, I. (2021). “Abduction” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2021 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL = <https://plato.stanford.edu/archives/sum2021/entries/abduction/>.
Hurley, P. (2014). A Concise Introduction to Logic 12th ed.. Massachusetts: Cengage Learning; 12th edition.
Lipton, P (1991). Inference to the Best Explanation. London and New York: Routledge/Taylor and Francis Group.
Matheson, C. (1998). “Why the No‐Miracles Argument Fails” dalam International studies in the philosophy of science, 12(3), 263-279.
Wulandari, C. (2018). Legal Analysis of The Use of Circumstantial Evidence Theory: Study of The Supreme Court Decision Number 777/Pid.B/2016/PN Jakarta Pusat. Yustitia, 7(1), 109-128.
Komentar
Posting Komentar